Tulisan Sang Jurnalis :Pemimpin Rakyat, Dari Mobil Esemka Sampai Street Justice Oleh"Rosadi Jamani".
Gambar :ilustrasi
Setiap pemimpin ada masanya. Setiap masa ada pemimpinnya. Setiap pemimpin punya cara sendiri untuk menarik perhatian rakyat. Ada yang naik dengan janji, ada yang naik dengan marah, ada yang naik dengan tenggelamkan kapal, dan ada yang naik dengan membawa kameramen.
Jokowi dulu hanyalah seorang wali kota dari kota kecil bernama Solo. Tak ada yang menyangka bahwa hidupnya akan berubah hanya karena satu benda, mobil Esemka. Mobil yang digadang-gadang sebagai kebanggaan nasional itu tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Rakyat berharap, investor melirik, media heboh. Mobilnya? Ah, entah ke mana. Tapi Jokowi? Meluncur kencang. Dari Wali Kota Solo, loncat ke Gubernur DKI Jakarta, lalu gas pol ke Istana Negara. Dua periode! Tak ada yang bisa menghentikannya. Bukan mobil Esemka yang akhirnya jadi kebanggaan nasional, tapi Jokowi sendiri yang jadi ikon rakyat.
Lalu muncullah seorang perempuan tangguh dari timur Jawaz Tri Rismaharini. Gayanya tak biasa. Ia tidak butuh citra santun, tak butuh pencitraan manis. Ia hanya perlu marah. Marah pada bawahannya, marah pada pengusaha nakal, marah pada warganya sendiri, bahkan marah pada pohon yang dipotong sembarangan. Rakyat? Kagum! “Akhirnya ada pemimpin yang peduli!” Seruan itu menggema. Dari wali kota Surabaya, ia naik jadi Menteri Sosial. Sayang, marah saja tak cukup untuk menang pilkada. Saat maju Pilgub Jatim, rakyat memilih orang lain. Rupanya, tak semua suka dimarahi.
Lalu ada Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih dikenal sebagai Ahok. Jika Risma marah sebagai bentuk cinta, Ahok marah sebagai bentuk perang. Ia tak hanya marah, ia membentak, ia menyemprot. Pejabat malas? Dibantai di depan kamera. Proyek abal-abal? Dibedah tanpa ampun. Rakyat? Terkesima. Seorang pemimpin yang berani melawan sistem! Tapi sistem punya cara sendiri untuk membalas. Ahok akhirnya tersingkir, bukan karena rakyat tak suka, tapi karena keadaan tak memihak.
Dari darat kita beralih ke laut. Muncullah Susi Pudjiastuti, perempuan yang merokok, bertato, dan tak peduli pada formalitas. Jargon andalannya? "Tenggelamkan!" Ia tidak main-main. Kapal ilegal yang berani mencuri ikan Indonesia, diledakkan, dihancurkan, ditenggelamkan. Nelayan kecil bersorak, mafia laut ketar-ketir. Menteri Kelautan dan Perikanan ini seperti bajak laut yang membela rakyatnya. Tapi sayang, kapal ilegal bukan satu-satunya yang bisa tenggelam. Karir politiknya pun ikut tenggelam saat kabinet baru tak lagi mengundangnya kembali.
Dari lautan, kita kembali ke darat, ke rel kereta api, di mana Ignasius Jonan menciptakan revolusi. Sebelum Jonan, naik kereta adalah perjuangan hidup dan mati. Penumpang bergelantungan di pintu, berdesakan di atap, seperti pemain sirkus yang tak dibayar. Setelah Jonan? Kereta menjadi rapi, nyaman, modern. Stasiun berubah dari pasar malam menjadi tempat yang layak dikunjungi. Publik? Memuja. Pemerintah? Memanggil. Jonan pun diangkat jadi Menteri Perhubungan. Sayang, politik tak selalu tentang kinerja. Reshuffle datang seperti petir di siang bolong. Jonan pun harus pergi, meninggalkan jejak emas di perkeretaapian.
Kini, panggung politik Indonesia punya bintang baru, Dedi Mulyadi alias KDM. Ia berbeda. Ia datang bukan dengan janji, bukan dengan teori, tapi dengan aksi. Street justice. Ada masalah? Ia datang. Ada rakyat yang menangis? Ia dengar. Ada ketidakadilan? Ia eksekusi di tempat. Tak perlu sidang, tak perlu birokrasi, cukup kamera dan aksi. Dari Bupati Purwakarta, ia naik jadi anggota DPR RI. Dari DPR RI, ia melompat jadi Gubernur Jawa Barat.
Hari pertama? Langsung pecat kepala sekolah. Alasannya? Melanggar instruksi. Tak ada basa-basi, tak ada kompromi. Karangan bunga sebagai ucapan selamat? Ditolak. "Mending kasih benih padi," katanya. Benih padi itu akan ia sumbangkan ke petani, karena baginya, ucapan selamat tak ada gunanya kalau rakyat masih kelaparan.
Publik? Histeris. Netizen? Berpesta. Media? Tak bisa berhenti menulis namanya. Apakah ini awal dari babak baru dalam politik Indonesia? Apakah KDM akan menjadi pemimpin besar berikutnya? Jika ada yang bisa mengendorse dengan baik, seperti Jokowi dulu, bukan tak mungkin kursi RI-1 menantinya.
Sebab di negeri ini, pemimpin yang tak omon-omon, yang langsung eksekusi di tempat, yang berani melawan arus, adalah pemimpin yang paling dirindukan rakyat.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
0 Komentar