Hasil survei secara online yang melibatkan 1,116 responden itu menunjukkan, sebanyak 92,40 persen hoax ditemui di media sosial.
Sebanyak 62,8 persen responden mengaku sering menerima hoax dari aplikasi pesan singkat, seperti Line, WhatsApp (WA), atau Telegram.
Saluran penyebaran hoax lainnya adalah situs web 34,9 persen, televisi 8,7 persen, media cetak 5 persen, email 3,1 persen dan radio 1,2 persen.
Saluran penyebaran hoax lainnya adalah situs web 34,9 persen, televisi 8,7 persen, media cetak 5 persen, email 3,1 persen dan radio 1,2 persen.
Sebanyak 91,8 persen responden mengatakan, berita mengenai sosial-politik adalah jenis hoax yang paling sering ditemui dengan persentase di media sosial sebanyak 92,40 persen.
"Hoax sengaja dibuat untuk memengaruhi opini publik dan kian marak lantaran faktor stimulasi seperti Sosial Politik dan SARA. Hoax ini juga muncul karena biasanya masyarakat menyukai sesuatu yang heboh," ujar Ketua Umum Mastel, Kristiono, dikutip Tekno Liputan6.
Kristiono menilai, responden sudah cukup kritis karena mereka telah terbiasa memeriksa kebenaran berita. "Ini artinya sudah bagus. Tinggal bagaimana mencegah kelompok silent majority berpindah menjadi haters," tuturnya.*
"Hoax sengaja dibuat untuk memengaruhi opini publik dan kian marak lantaran faktor stimulasi seperti Sosial Politik dan SARA. Hoax ini juga muncul karena biasanya masyarakat menyukai sesuatu yang heboh," ujar Ketua Umum Mastel, Kristiono, dikutip Tekno Liputan6.
Kristiono menilai, responden sudah cukup kritis karena mereka telah terbiasa memeriksa kebenaran berita. "Ini artinya sudah bagus. Tinggal bagaimana mencegah kelompok silent majority berpindah menjadi haters," tuturnya.*
0 Komentar